Selasa, 10 Juli 2012

Koperasi Listrik di Amerika

Di AS, negeri embah-nya kapitalisme, koperasi listrik mempunyai sejarah panjang. Sekarang, sekitar tiga perempat kebutuhan masyarakat AS terhadap listrik, dipenuhi koperasi.

Jika ingin melihat bukti soal ketangguhan koperasi dalam bertarung secara head to head dengan swasta, tengoklah koperasi listrik di Amerika Serikat (AS). Paling tidak, ada dua hal yang membikin koperasi ini istimewa. Pertama, tumbuh dan berkembang di negeri yang dikenal sebagai biangnya kapitalisme. Kedua, bidang usaha yang digarap termasuk padat modal dan padat teknologi.

Saat ini, koperasi listrik telah menjelma menjadi kekuatan besar, dengan melayani sekitar 40 juta masyarakat AS, yang tersebar di 47 negara bagian. Di samping masyarakat, koperasi juga melayani 17 juta pelanggan perusahaan, industri dan sebagainya.

Layanan listrik tersebut diberikan oleh koperasi primer, yang berjumlah 930 unit dengan total aset 97 miliar dolar AS. Koperasi-koperasi primer bekerja dalam sebuah jaringan, antara lain dengan membentuk sekunder tingkat nasional bernama The National Rural Electric Cooperative Association (NRECA).

Kendati telah tumbuh sebagai entiti bisnis dengan skala besar, gerakan koperasi listrik AS tetap berjalan di atas rel prinsip dasar koperasi, yang digariskan International Cooperative Alliance (ICA). Misalnya, dengan menegaskan bahwa anggota yang menjadi konsumen listrik, adalah sekaligus berposisi sebagai pemilik.

Karena itu, pelayanan kepada konsumen tidak bisa sembarangan, lantaran mereka adalah “bos” koperasi itu sendiri. Tentu saja, pengelolaan koperasi juga dilakukan berdasarkan ketentuan, yang diputuskan segenap anggota secara demokratis. Satu hal yang menarik, sejak awal koperasi menancapkan misi memenuhi kebutuhan listrik untuk rakyat, termasuk yang berpenghasilan rendah.

Setelah ditemukan dan dikembangkan Thomas Alva Edison (1879-1889), baru tiga dekade kemudian listrik menjelma sebagai salah satu pemantik revolusi. Kapitalisme di Amerika Utara dan sosialisme di Rusia, bersua di bawah cahaya lampu. Dua ideologi berseberangan itu sama-sama percaya, bahwa elektrifikasi sanggup memacu industrialisasi.

Untuk itu, listrik mesti diproduksi dalam jumlah banyak, dan disebar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri. Bedanya, dalam ideologi komunis, tugas ini langsung diambil alih oleh negara. Sedangkan ideologi kapitalis menghendaki agar Negara tidak banyak ikut campur, dan membiarkan para pemilik modal (swasta) mengambil inisiatif, dengan dorongan mengejar keuntungan.

Dengan dukungan kekuatan keuangan, muncullah lima perusahaan listrik skala besar, seperti Electric Band and Share Company, Install Group, The Northeastern Company, dan Standard Gas and Electric Company. Lima perusahaan induk ini, bergerak dari hulu sampai hilir, secara monopolistik.

Maka, industri listrik itu pun menjelma sebagai kekuatan raksasa ekonomi, yang berada dalam genggaman kekuatan kapital, seperti J.P. Morgan and Company, First National City Bank, Bankers Trust dan Guaranty Trust. Tidak cukup sampai di situ. Dengan segala kekuatannya, kaum kapitalis itu pun mencengkramkan kukunya di ranah politik, terutama melalui Partai Republik. Sempurnalah wajah kapitalisme “tingkat awal”, yang senantiasa menyeringaikan keganasannya.

Dengan mendewakan profit, tentu saja kapitalisme selalu bekerja lewat perhitungan ekonomi murni. Sementara itu, penduduk Amerika, terutama kaum petani yang tinggal di daerah pedesaan, sama sekali luput dari hitungan. Kaum kapitalis lebih suka melayani masyarakat dan industri yang ada di perkotaan, lantaran lebih efisien sehingga bisa mengeduk keuntungan berlipat.

Pada 1935, kota-kota di Amerika telah diterangi cahaya lampu, berkat kegiatan komersial perusahaan-perusahaan listrik raksasa. Sedangkan ladang-ladang pertanian di pedesaan, cuma 10 persen saja yang mampu menikmati listrik. Itu pun desa yang letaknya di pinggiran kota.
Perusahaan listrik beralasan, duit yang mesti dikeluarkan untuk membangun jaringan sampai ke pedesaan, sangat mahal karena wilayahnya yang luas, dengan rumah penduduk yang saling berjauhan pula. Jika para petani dan penduduk desa berteriak meminta sambungan listrik pada perusahaan-perusahaan swasta, mereka dengan enteng menjawab: “Kalian tidak akan mampu membeli listrik!” Atau, dengan nada licik: “Baik, akan kami layani, asal kalian mau membayar harganya, termasuk biaya pemasangan jaringan kawatnya. Tapi, serahkan juga borongan pembangunannya pada kami.”

Jadi, mustahil bagi penduduk desa untuk bisa menikmati listrik, jika cuma berharap pada perusahaan swasta. Akibatnya, industrialisasi hanya terjadi di wilayah perkotaan, dan ini merupakan daya tarik hebat yang menyedot urbanisasi secara besar-besaran.

Tentu saja fenomena tersebut kelak bisa membahayakan, karena membunuh sektor pertanian. Seorang anggota kongres bernama George W. Norris, lantas melontarkan ide untuk membangun waduk pembangkit listrik secara besar-besaran, sehingga memungkinkan pembuatan listrik yang murah bagi penduduk di pedesaan, seperti yang sudah terbukti berhasil di Kanada (proyek Ontario Hydro Electric).

Ide itu lantas disambut Roosevelt, Gubernur New York, dengan langkah konkret berupa pemanfaatan sumberdaya air dari sungai St Lawrence River. Saat menjabat sebagai Presiden AS, ia melanjutkan proyeknya dengan langkah spektakuler, yaitu membuat bendungan raksasa Tennesse Valley di bawah suatu badan otorita dengan payung undang-undang yang dikenal dengan nama Tennesse Valley Authority.

Langkah Roosevelt tersebut, tak ayal, mendapat tentangan dahsyat dari kaum kapitalis, yang punya pengaruh di kongres. Tokoh terkemuka seperti Eisenhower dari Partai Repubik, ter¬masuk yang lantang melontarkan tentangan itu. Tapi, yang mendukung Roosevelt juga tak sedikit (terutama dari penduduk desa dan Partai Demokrat), sehingga ia terus melangkah.

Karena tidak mungkin menggandeng industri listrik milik kapitalis, maka Roosevelt mendorong penduduk desa membentuk badan usaha sendiri, untuk mengelola kegiatan penyediaan dan distribusi listrik. Koperasi pun jadi pilihan. Langkah besar ini kian mantap, setelah pemerintah berhasil membentuk badan baru bernama Rural Electrification Administrations, di bawah Departemen Pertanian. Tentu saja, sebelumnya mesti melewati perdebatan sengit di kongres.

Di tengah-tengah bergulatan yang selalu diwarnai pertentangan hebat, koperasi listrik di pedesaan AS, malah tumbuh sebagai gerakan militan, yang mampu melawan dominasi kapi¬talisme. Clyde T. Ellis, penulis buku A Giant Step (1966), menggambarkan pergulatan itu sebagai the epic battle of passage.

Gerakan tersebut, pada sisi lain, melahirkan sejumlah tokoh yang kemudian memainkan peran penting di AS bahkan dunia (sebagian menjadi Presiden AS), seperti Norris, Humphrey, Rayburn, Fullbright, Trumann, Kennedy dan Johnson. Mereka mempunyai latar belakang sebagai petani dan pemimpin koperasi pertanian atau ternak di tingkat lokal.

Untuk mengimbangi kekuatan kaum kapitalis yang mencengkramkan kuku tajamnya hingga ke bidang politik, gerakan koperasi listrik AS pun melakukan hal serupa. Sampai sekarang, political action menjadi salah satu program rutin, melalui The Action Committee for Rural Electrification (ACRE), yang memiliki lebih dari 30 ribu anggota dari The National Rural Electric Cooperative Asso¬ciation.

Pengembangan
Setelah menjelma menjadi keku¬atan besar, baik secara ekonomi maupun politik, gerakan koperasi listrik AS melakukan pengembangan usaha, di luar pengelolaan produksi dan distribusi listrik. Namun, semuanya tetap dijalankan dengan prinsip koperasi, seperti non-profit operation, one member-one vote, proses pimpinan oleh anggota, control sosial oleh anggota, dan seterusnya.

Usaha-usaha tersebut, antara lain dalam bidang pengadaan pupuk, makanan ternak, susu, kredit hingga pengelolaan supermarket dan penyelenggaraan asuransi. Kegiatan yang bersifat sosial pun, dilakukan dengan sangat serius dalam skala besar. Misalnya, membantu masyarakat yang menjadi korban bencana seperti amukan badai Katrina, yang pernah meluluh-lantakkan Missisippi dan Louisiana.

Tentu saja, isu global tentang energi alternatif pun, tak luput dari perhatian. Gerakan koperasi listrik AS, sudah melakukan berbagai langkah konkret untuk mewujudkan green power, yaitu mengembangkan listrik dengan energi yang bisa diperbaharui (renewable energy). Saat ini, lebih dari 550 koperasi listrik yang meng¬gunakan green power.


Kinerja Koperasi Listrik AS
  1. Memiliki aset sekitar 97 miliar dolar AS.
  2. Memiliki dan mengelola 2,4 juta mil, atau 43 persen dari total jaringan listrik nasional, menjangkau tiga perempat wilayah pemukiman AS.
  3. Mempekerjakan 67 ribu karyawan di seluruh AS.
  4. Membayar pajak pada negara, lebih dari 1,2 miliar dolar AS per tahun.


Misi Gerakan Global

Setelah sukses di dalam negeri, gerakan koperasi listrik AS menjalankan misi untuk mewujudkan kegiatan elektrifikasi pedesaan sebagai gerakan global. Antara lain, dengan mendorong tumbuhnya koperasi sejenis di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Gerakan koperasi listrik Amerika Serikat (AS), yang di level nasional diwadahi National Rural Electric Cooperative Association (NRECA), memang boleh bertepuk dada, lantaran keberhasilannya menjalankan misi memenuhi kebutuhan listrik rakyat pedesaaan, secara spektakuler.

Tapi, tunggu dulu. “Tujuan akhir program elektrifikasi pedesaan tidak akan berhenti dikejar,” begitu para pegiat NRECA kerap berujar, “Sehingga orang terakhir di suatu desa terpencil di suatu negara yang terakhir di dunia yang membutuhkan listrik, bisa dilayani.” Kalimat ini, masih disambung dengan penegasan: “Sound idealistic? Maybe. Possible? Absolutely!”

Jelaslah, NRECA tidak mau berhenti, dengan kesuksesannya di dalam negeri. Mereka bertekad melawan kapitalisme di industri listrik, di negara lain. Sebab, syahwat kapitalis akan sama saja, melulu mengejar keuntungan besar. Dan rakyat kecil, terlebih yang tinggal di daerah terpencil, tidak akan pernah masuk hitungan.

Tekad besar itu, bukan omong kosong. Ketika Kennedy dari Partai Demokrat yang juga berasal dari lingkungan koperasi listrik, terpilih menjadi Presiden AS, ia melancarkan program “NRECA Model” ke berbagai negara. Hasilnya, pada 1970-an saja sudah ada 150 unit koperasi di 30 negara, yang mendapat bantuan NECRA untuk menjalankan kegiatan produksi dan distribusi listrik di pedesaan.

Tapi, sayang, pada perkembangan selanjutnya, hanya di beberapa ne¬gara saja program tersebut mecetak sukses. Misalnya, di Argentina, Australia, Bolivia, Chili, Costa Rica dan Philipina. Indonesia? Pada 1976, dengan sponsor USAID, NRECA sudah masuk ke negeri ini, untuk melakukan penelitian pendahuluan, tentang kemungkinan listrik masuk desa, melalui koperasi.

Dari penelitian itu, lantas NECRA bersiap membuat dua model koperasi listrik di Jawa, tepatnya di Tangerang dan Trenggalek. Tapi, langkah ini dihadang Perusahaan Listrik Negara (PLN) lantaran tidak mau monopoli listrik di Jawa yang potensial, terganggu. Dengan dukungan Direktur Jenderal Koperasi, lantas proyek percontohan pun dibangun di daerah transmigrasi (ketika itu), yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Lampung dan Sumatera Utara.

Setelah sempat berjalan beberapa puluh tahun, keberadaan koperasi-koperasi listrik itu, tak terlacak lagi. Data paling terakhir, yaitu per Desember 1999, tercatat tinggal 5 koperasi listrik yang masih bernapas, masing-masing satu di Lampung dan Nusa Tenggara Barat, serta tiga di Sumatera Utara.

Namun, yang aktivitasnya lumayan cuma Koperasi Listrik Sinar Rinjani, Aikmel, NTB. Koperasi yang melayani sekitar 17 ribu konsumen listrik ini pun, akhirnya, berakhir secara tragis, lantaran dirusak oleh para pendemo yang marah, pada 2006 lalu. Sekitar 1000 konsumen, mendemo koperasi, lantaran merasa banyak dirugikan. Harga listrik yang dijual lebih mahal dari PLN, yaitu Rp 1.100 per KWH, sementara di PLN Rp900 per KWH. Duh, susahnya membangun koperasi di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar