Selasa, 10 Juli 2012

Pengertian dan Konsep Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya.
Berdasarkan pengertian tersebut, yang dapat menjadi anggota koperasi yaitu:
  1. Perorangan, yaitu orang yang secara sukarela menjadi anggota koperasi;
  2. Badan hukum koperasi, yaitu suatu koperasi yang menjadi anggota koperasi yang memiliki lingkup lebih luas.
Pada Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 27 (Revisi 1998), disebutkan bahwa karateristik utama koperasi yang membedakan dengan badan usaha lain, yaitu anggota koperasi memiliki identitas ganda. Identitas ganda maksudnya anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh seluruh anggotanya, dimana setiap anggota memiliki hak suara yang sama dalam setiap keputusan yang diambil koperasi. Pembagian keuntungan koperasi (biasa disebut Sisa Hasil Usaha atau SHU) biasanya dihitung berdasarkan andil anggota tersebut dalam koperasi, misalnya dengan melakukan pembagian dividen berdasarkan besar pembelian atau penjualan yang dilakukan oleh si anggota.

KONSEP KOPERASI

munkner dari university of manburg, jerman barat membedakan konsep koperasi menjadi dua: konsep koperasibarat dan konsep koperasi sosialis. Hal ini di latarbelakangi oleh pemikiran bahwa pada dasarnya, perkembangan konsep-konsep yang bersal dari Negara-negara berpaham sosialis, sedangkan konsep berkembang dinegara dunia ketiga merupakan perpaduan dari kedua konsep tersebut.

KONSEP KOPERASI BARAT

Konsep koperasi barat menyatakan bahwa koperasi merupakan organisasi swasta, yang di bentuk secara sukarela oleh orang-orang yang mempunyai persamaan kepentingan,dengan maksud mengurusi kepentingan para anggotanya serta menciptakan keuntungan timbal balik bagi anggota koperasi maupun perusahaan koperasi.
Dampak langsung koperasi terhadap anggotanya adalah ;
· Promosi kegiatan ekonomi anggota
· Pengembangan usaha koperasi dalam hal investasi formulasi permodalan, pengembangan sumber daya manusia(SDM), pengembangan keahlian untuk bertindak sebagai wirausahawan, dan kerjasama antarkoperasi secara horizontal dan vertical.
Dampak koperasi secara tidak langsung adalah sebagai berikut:
· Pengembangan kondisi social ekonomi sejumlah produsen skala kecil maupun pelanggan
· Mengembangkan inovasi pada perusahaan skala kecil,misalnya inovasi teknik dan metode produksi
· Memberikan distribusi pendapatan yang lebih seimbang dengan pemberian harga yang wajar antara produsen dengan konsumen, serta pemberian kesempatan yang sama pada koperasi dan perusahaan kecil.

KONSEP KOPERASI SOSIALIS

Konsep koperasi sosialis menyatakan bahwa koperasi direncankan dan dikendalikan oleh pemerintah, dan di bentuk dengan tujuan merasionalkan produksi, untuk menunjang perencanaan nasional.

KONSEP KOPERASI NEGARA BERKEMBANG

Munkner hanya membedakan koperasi berdasar konsep barat dan konsep sosialis. Sementara itu didunia ketiga, walaupun masih mengacu pada kedua konsep tersebut, namun koperasinya sudah berkembang dengan cirri tersendiri,yaitu dominasi campur tangan pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan. Adanya campur tangan pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan koperasi di Indonesia membuatnya mirip dengan konsep sosialis. Perbedaanya adalah, tujuan koperasi dalam konsep sosialis adalah untuk merasionalkan factor produks dari kepemilikan kolektif, sedangkan koperasi di Negara berkembang seperti di Indonesia, tujuanya adalah meningkatkan kondisi social ekonomi anggotanya.

Peran Koperasi Dalam Ekonomi Nasional

Pemerintah harus merevitalisasi peran koperasi dalam setiap sendi perekonomian nasional. Apalagi, menghadapi potensi merembetnya krisis Eropa secara global, termasuk ke Indonesia, tpada tahun depan.
Demikian diungkapkan Ketua Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Jawa Barat (Jabar), H. Endang Suwarna pada Diskusi Ekonomi “Refleksi Gerakan Koperasi Jabar” di Redaksi Pikiran Rakyat, Jln. Soekarno Hatta 147, Bandung, Kamis (29/12). Menurut dia, Indonesia harus berkaca pada sejumlah negara yang sukses mendongkrak perekonomiannya dengan melibatkan koperasi.
“Pertumbuhan ekonomi India bisa mencapai delapan persen karena melibatkan koperasi. Banyak lagi negara-negara lain yang sukses karena gerakan koperasinya,” tutur Endang.
Di Indoa, menurut dia, koperasi dilibatkan dalam setiap sendi perekonomian, termasuk adalm aktivitas ekspor dan impor. Sementara di Indonesia, sejumlah komoditas yang dulu didistribusikan melalui koperasi, saat ini justru dilepas kepada pihak swasta.
Di sisi lain, menurut dia, para penggiat koperasi juga harus semakin meningkatkan perannya, jangan hanya menunggu kebijakan pemerintah. “Saat ini peran penggiat koperasi sangat kurang, harus kembali ditingkatkan jika memang ingin koperasi kembali berperan penting dalam perekonomian seperti dulu,” tuturnya.
Namun, diakui Ketua Majelis Pakar Dekopinwil Jabar, Remi Tjahari, untuk menjadikan koperasi sebagai salah satu penggerak utama sektor perekonomian nasional, masih terkendala sumber daya manusia (SDM). Menurut dia, saat ini SDM koperasi yang berkualitas dan terampil sangat minim. “SDM koperasi perlu didukung kemampuan managerial yang baik. Ini yang masih kurang,” tuturnya.
Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Koperasi Wilayah (Dekopinwil) Jawa Barat (Jabar), Wans Ibrahim, pernah melontarkan hal serupa. Saat itu, ia meminta agar pemerintah mengembalikan fungsi teknis koperasi.
Jika kembali menjadi lembaga teknis, koperasi dimungkinkan untuk kembali menyalurkan sejumlah komoditas unggulan, seperti gula, beras, dan kedelai. Selain bisa menjaga harga komoditas-komoditas tersebut, langkah tersebut, menurut dia, bisa kembali meningkatkan peran koperasi dalam perekonomian.
“Kalau distribusi kembali dikelola koperasi, harga dapat lebih terjaga. Tidak seperti sekarang, harga terus melambung. Apalagi, untuk komoditas yang hanya didistribusikan oleh segelintir distributor. Ini perlu peran dan dukungan pemerintah pusat,” katanya saat itu.
Selain itu, menurut dia, dengan menjadi lembaga teknis, koordinasi antara semua kebijakan pusat dan implementasi di lapangan lebih terkontrol. “Idealnya, penanganan koperasi harus secara menyeluruh hingga daerah. Sayangnya, saat ini, penanganan koperasi berada dalam koridor kementrian. Kebijakan hanya ada di pusat,” ujar Wans

Koperasi Listrik di Amerika

Di AS, negeri embah-nya kapitalisme, koperasi listrik mempunyai sejarah panjang. Sekarang, sekitar tiga perempat kebutuhan masyarakat AS terhadap listrik, dipenuhi koperasi.

Jika ingin melihat bukti soal ketangguhan koperasi dalam bertarung secara head to head dengan swasta, tengoklah koperasi listrik di Amerika Serikat (AS). Paling tidak, ada dua hal yang membikin koperasi ini istimewa. Pertama, tumbuh dan berkembang di negeri yang dikenal sebagai biangnya kapitalisme. Kedua, bidang usaha yang digarap termasuk padat modal dan padat teknologi.

Saat ini, koperasi listrik telah menjelma menjadi kekuatan besar, dengan melayani sekitar 40 juta masyarakat AS, yang tersebar di 47 negara bagian. Di samping masyarakat, koperasi juga melayani 17 juta pelanggan perusahaan, industri dan sebagainya.

Layanan listrik tersebut diberikan oleh koperasi primer, yang berjumlah 930 unit dengan total aset 97 miliar dolar AS. Koperasi-koperasi primer bekerja dalam sebuah jaringan, antara lain dengan membentuk sekunder tingkat nasional bernama The National Rural Electric Cooperative Association (NRECA).

Kendati telah tumbuh sebagai entiti bisnis dengan skala besar, gerakan koperasi listrik AS tetap berjalan di atas rel prinsip dasar koperasi, yang digariskan International Cooperative Alliance (ICA). Misalnya, dengan menegaskan bahwa anggota yang menjadi konsumen listrik, adalah sekaligus berposisi sebagai pemilik.

Karena itu, pelayanan kepada konsumen tidak bisa sembarangan, lantaran mereka adalah “bos” koperasi itu sendiri. Tentu saja, pengelolaan koperasi juga dilakukan berdasarkan ketentuan, yang diputuskan segenap anggota secara demokratis. Satu hal yang menarik, sejak awal koperasi menancapkan misi memenuhi kebutuhan listrik untuk rakyat, termasuk yang berpenghasilan rendah.

Setelah ditemukan dan dikembangkan Thomas Alva Edison (1879-1889), baru tiga dekade kemudian listrik menjelma sebagai salah satu pemantik revolusi. Kapitalisme di Amerika Utara dan sosialisme di Rusia, bersua di bawah cahaya lampu. Dua ideologi berseberangan itu sama-sama percaya, bahwa elektrifikasi sanggup memacu industrialisasi.

Untuk itu, listrik mesti diproduksi dalam jumlah banyak, dan disebar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri. Bedanya, dalam ideologi komunis, tugas ini langsung diambil alih oleh negara. Sedangkan ideologi kapitalis menghendaki agar Negara tidak banyak ikut campur, dan membiarkan para pemilik modal (swasta) mengambil inisiatif, dengan dorongan mengejar keuntungan.

Dengan dukungan kekuatan keuangan, muncullah lima perusahaan listrik skala besar, seperti Electric Band and Share Company, Install Group, The Northeastern Company, dan Standard Gas and Electric Company. Lima perusahaan induk ini, bergerak dari hulu sampai hilir, secara monopolistik.

Maka, industri listrik itu pun menjelma sebagai kekuatan raksasa ekonomi, yang berada dalam genggaman kekuatan kapital, seperti J.P. Morgan and Company, First National City Bank, Bankers Trust dan Guaranty Trust. Tidak cukup sampai di situ. Dengan segala kekuatannya, kaum kapitalis itu pun mencengkramkan kukunya di ranah politik, terutama melalui Partai Republik. Sempurnalah wajah kapitalisme “tingkat awal”, yang senantiasa menyeringaikan keganasannya.

Dengan mendewakan profit, tentu saja kapitalisme selalu bekerja lewat perhitungan ekonomi murni. Sementara itu, penduduk Amerika, terutama kaum petani yang tinggal di daerah pedesaan, sama sekali luput dari hitungan. Kaum kapitalis lebih suka melayani masyarakat dan industri yang ada di perkotaan, lantaran lebih efisien sehingga bisa mengeduk keuntungan berlipat.

Pada 1935, kota-kota di Amerika telah diterangi cahaya lampu, berkat kegiatan komersial perusahaan-perusahaan listrik raksasa. Sedangkan ladang-ladang pertanian di pedesaan, cuma 10 persen saja yang mampu menikmati listrik. Itu pun desa yang letaknya di pinggiran kota.
Perusahaan listrik beralasan, duit yang mesti dikeluarkan untuk membangun jaringan sampai ke pedesaan, sangat mahal karena wilayahnya yang luas, dengan rumah penduduk yang saling berjauhan pula. Jika para petani dan penduduk desa berteriak meminta sambungan listrik pada perusahaan-perusahaan swasta, mereka dengan enteng menjawab: “Kalian tidak akan mampu membeli listrik!” Atau, dengan nada licik: “Baik, akan kami layani, asal kalian mau membayar harganya, termasuk biaya pemasangan jaringan kawatnya. Tapi, serahkan juga borongan pembangunannya pada kami.”

Jadi, mustahil bagi penduduk desa untuk bisa menikmati listrik, jika cuma berharap pada perusahaan swasta. Akibatnya, industrialisasi hanya terjadi di wilayah perkotaan, dan ini merupakan daya tarik hebat yang menyedot urbanisasi secara besar-besaran.

Tentu saja fenomena tersebut kelak bisa membahayakan, karena membunuh sektor pertanian. Seorang anggota kongres bernama George W. Norris, lantas melontarkan ide untuk membangun waduk pembangkit listrik secara besar-besaran, sehingga memungkinkan pembuatan listrik yang murah bagi penduduk di pedesaan, seperti yang sudah terbukti berhasil di Kanada (proyek Ontario Hydro Electric).

Ide itu lantas disambut Roosevelt, Gubernur New York, dengan langkah konkret berupa pemanfaatan sumberdaya air dari sungai St Lawrence River. Saat menjabat sebagai Presiden AS, ia melanjutkan proyeknya dengan langkah spektakuler, yaitu membuat bendungan raksasa Tennesse Valley di bawah suatu badan otorita dengan payung undang-undang yang dikenal dengan nama Tennesse Valley Authority.

Langkah Roosevelt tersebut, tak ayal, mendapat tentangan dahsyat dari kaum kapitalis, yang punya pengaruh di kongres. Tokoh terkemuka seperti Eisenhower dari Partai Repubik, ter¬masuk yang lantang melontarkan tentangan itu. Tapi, yang mendukung Roosevelt juga tak sedikit (terutama dari penduduk desa dan Partai Demokrat), sehingga ia terus melangkah.

Karena tidak mungkin menggandeng industri listrik milik kapitalis, maka Roosevelt mendorong penduduk desa membentuk badan usaha sendiri, untuk mengelola kegiatan penyediaan dan distribusi listrik. Koperasi pun jadi pilihan. Langkah besar ini kian mantap, setelah pemerintah berhasil membentuk badan baru bernama Rural Electrification Administrations, di bawah Departemen Pertanian. Tentu saja, sebelumnya mesti melewati perdebatan sengit di kongres.

Di tengah-tengah bergulatan yang selalu diwarnai pertentangan hebat, koperasi listrik di pedesaan AS, malah tumbuh sebagai gerakan militan, yang mampu melawan dominasi kapi¬talisme. Clyde T. Ellis, penulis buku A Giant Step (1966), menggambarkan pergulatan itu sebagai the epic battle of passage.

Gerakan tersebut, pada sisi lain, melahirkan sejumlah tokoh yang kemudian memainkan peran penting di AS bahkan dunia (sebagian menjadi Presiden AS), seperti Norris, Humphrey, Rayburn, Fullbright, Trumann, Kennedy dan Johnson. Mereka mempunyai latar belakang sebagai petani dan pemimpin koperasi pertanian atau ternak di tingkat lokal.

Untuk mengimbangi kekuatan kaum kapitalis yang mencengkramkan kuku tajamnya hingga ke bidang politik, gerakan koperasi listrik AS pun melakukan hal serupa. Sampai sekarang, political action menjadi salah satu program rutin, melalui The Action Committee for Rural Electrification (ACRE), yang memiliki lebih dari 30 ribu anggota dari The National Rural Electric Cooperative Asso¬ciation.

Pengembangan
Setelah menjelma menjadi keku¬atan besar, baik secara ekonomi maupun politik, gerakan koperasi listrik AS melakukan pengembangan usaha, di luar pengelolaan produksi dan distribusi listrik. Namun, semuanya tetap dijalankan dengan prinsip koperasi, seperti non-profit operation, one member-one vote, proses pimpinan oleh anggota, control sosial oleh anggota, dan seterusnya.

Usaha-usaha tersebut, antara lain dalam bidang pengadaan pupuk, makanan ternak, susu, kredit hingga pengelolaan supermarket dan penyelenggaraan asuransi. Kegiatan yang bersifat sosial pun, dilakukan dengan sangat serius dalam skala besar. Misalnya, membantu masyarakat yang menjadi korban bencana seperti amukan badai Katrina, yang pernah meluluh-lantakkan Missisippi dan Louisiana.

Tentu saja, isu global tentang energi alternatif pun, tak luput dari perhatian. Gerakan koperasi listrik AS, sudah melakukan berbagai langkah konkret untuk mewujudkan green power, yaitu mengembangkan listrik dengan energi yang bisa diperbaharui (renewable energy). Saat ini, lebih dari 550 koperasi listrik yang meng¬gunakan green power.


Kinerja Koperasi Listrik AS
  1. Memiliki aset sekitar 97 miliar dolar AS.
  2. Memiliki dan mengelola 2,4 juta mil, atau 43 persen dari total jaringan listrik nasional, menjangkau tiga perempat wilayah pemukiman AS.
  3. Mempekerjakan 67 ribu karyawan di seluruh AS.
  4. Membayar pajak pada negara, lebih dari 1,2 miliar dolar AS per tahun.


Misi Gerakan Global

Setelah sukses di dalam negeri, gerakan koperasi listrik AS menjalankan misi untuk mewujudkan kegiatan elektrifikasi pedesaan sebagai gerakan global. Antara lain, dengan mendorong tumbuhnya koperasi sejenis di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Gerakan koperasi listrik Amerika Serikat (AS), yang di level nasional diwadahi National Rural Electric Cooperative Association (NRECA), memang boleh bertepuk dada, lantaran keberhasilannya menjalankan misi memenuhi kebutuhan listrik rakyat pedesaaan, secara spektakuler.

Tapi, tunggu dulu. “Tujuan akhir program elektrifikasi pedesaan tidak akan berhenti dikejar,” begitu para pegiat NRECA kerap berujar, “Sehingga orang terakhir di suatu desa terpencil di suatu negara yang terakhir di dunia yang membutuhkan listrik, bisa dilayani.” Kalimat ini, masih disambung dengan penegasan: “Sound idealistic? Maybe. Possible? Absolutely!”

Jelaslah, NRECA tidak mau berhenti, dengan kesuksesannya di dalam negeri. Mereka bertekad melawan kapitalisme di industri listrik, di negara lain. Sebab, syahwat kapitalis akan sama saja, melulu mengejar keuntungan besar. Dan rakyat kecil, terlebih yang tinggal di daerah terpencil, tidak akan pernah masuk hitungan.

Tekad besar itu, bukan omong kosong. Ketika Kennedy dari Partai Demokrat yang juga berasal dari lingkungan koperasi listrik, terpilih menjadi Presiden AS, ia melancarkan program “NRECA Model” ke berbagai negara. Hasilnya, pada 1970-an saja sudah ada 150 unit koperasi di 30 negara, yang mendapat bantuan NECRA untuk menjalankan kegiatan produksi dan distribusi listrik di pedesaan.

Tapi, sayang, pada perkembangan selanjutnya, hanya di beberapa ne¬gara saja program tersebut mecetak sukses. Misalnya, di Argentina, Australia, Bolivia, Chili, Costa Rica dan Philipina. Indonesia? Pada 1976, dengan sponsor USAID, NRECA sudah masuk ke negeri ini, untuk melakukan penelitian pendahuluan, tentang kemungkinan listrik masuk desa, melalui koperasi.

Dari penelitian itu, lantas NECRA bersiap membuat dua model koperasi listrik di Jawa, tepatnya di Tangerang dan Trenggalek. Tapi, langkah ini dihadang Perusahaan Listrik Negara (PLN) lantaran tidak mau monopoli listrik di Jawa yang potensial, terganggu. Dengan dukungan Direktur Jenderal Koperasi, lantas proyek percontohan pun dibangun di daerah transmigrasi (ketika itu), yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Lampung dan Sumatera Utara.

Setelah sempat berjalan beberapa puluh tahun, keberadaan koperasi-koperasi listrik itu, tak terlacak lagi. Data paling terakhir, yaitu per Desember 1999, tercatat tinggal 5 koperasi listrik yang masih bernapas, masing-masing satu di Lampung dan Nusa Tenggara Barat, serta tiga di Sumatera Utara.

Namun, yang aktivitasnya lumayan cuma Koperasi Listrik Sinar Rinjani, Aikmel, NTB. Koperasi yang melayani sekitar 17 ribu konsumen listrik ini pun, akhirnya, berakhir secara tragis, lantaran dirusak oleh para pendemo yang marah, pada 2006 lalu. Sekitar 1000 konsumen, mendemo koperasi, lantaran merasa banyak dirugikan. Harga listrik yang dijual lebih mahal dari PLN, yaitu Rp 1.100 per KWH, sementara di PLN Rp900 per KWH. Duh, susahnya membangun koperasi di negeri ini.

Koperasi Susu Amul India

Mewujudkan industri perususuan oleh perkoperasian, butuh perjuangan panjang. Juga keberanian dan konsistensi mengaspirasikan kebutuhan segenap anggota. Seperti apa inovasi di tingkat bawah?

Mengidentikkan India hanya dengan dunia perfilman sarat tarian erotis, tidaklah tepat. Sebab, dalam kurun sepanjang enam dekade terakhir negeri berpenduduk terpadat kedua dunia ini, sungguh serius membangun industri persusuan. Yang menarik, sistem industri persusuan itu diwujudkan melalui kelembagaan koperasi secara konsisten.

Tak salah lagi, pelopor persusuan di India adalah Amul. Didirikan pada tahun 1946, Amul memulai gerakan koperasi susu di India. Saat itu mereka sudah membentuk satu organisasi koperasi puncak bernama Perusahaan Persatuan Pemasaran Koperasi Susu Gujarat (Gujarat Cooperative Milk Marketing Federation, GCMMF). Hingga sekarang, persatuan pemasaran susu ini dimiliki bersama oleh sejumlah 2,2 juta produsen susu di Gujarat, India.

Produk turunan yang mampu dihasilkan sangat bervariasi. Termasuk susu bubuk, susu cair, susu beraroma,susu kental manis, mentega, keju, coklat, es krim hingga pizza. Khusus dalam konteks menembus segmentasi pasar, mereka juga sudah memiliki brandname tersendiri yaitu Amul Masti and The Amul Shakti & Nutramu. Yang pasti, nama merek dari minuman- makanan kesehatan ini sudah dikenal secara luas di seluruh India dan luar negeri. Ini semua menjadikan Amul sebuah merek makanan terbesar di India. Saat ini omset (turnover) tahunannya mencapai sekitar 600 juta Dolar AS atau sekitar Rp 60 miliar per tahun.

Tujuan utama dari GCMMF menurut Dr V Kurien yang pimpinan GCMMF adalah bertekad mewujudkan sebuah bangunan satu kekuatan masyarakat ekonomi India. Caranya? Melalui pembaharuan jaringan koperasi untuk menyediakan layanan dan produksi industri persusuan yang berkualitas. Sehingga mampu meningkatkan nilai tukar ekonomi masyarakat, yang berbentuk pengembalian modal maupun konsumsi kepada anggota-anggota kopersi atau para peternak sapi.

V Kurien mengakui, jalan yang harus ditempuh memang malang-melintang serta mengandung beberapa tantangan berat. Kendati begitu, pihaknya bertekad terus melanjutkan perjuangan panjang tersebut. Pihaknya juga menyadari, langkah ini membutuhkan keberanian secara konsisten. Kita harus mengikuti garis melintang yang bahkan lebih sedikit dapat memimpikan mengikutinya sebelumnya. “Kami tetap berpegang pada keyakinan terhadap tujuan institusi koperasi dan mengaspirasikan jutaan penduduk pedesaan yang menjadi anggota kami,” ungkap V Kurien yang dijuluki Manusia Susu India.

Apa kunci sukses mereka membangun industri susu? Salah satunya, bidang teknologi informasi memang memainkan peran yang signifikan dalam mengembangkan merek Amul. Bayangkan saja, mengatur aspek logistik hingga mengkoordinasi pengumpulan volume sebesar 7 juta liter susu per hari dari seluruh India, tentu bukan pekerjaan sembarangan. Termasuk mengorganisasi tak kurang dari 11.400 komunitas kampung, yang masing-masing merupakan anggota masyarakat koperasi pedesaan melalui sentra di Gujarat. Belum lagi serangkaian aktivitas penyimpanan prosesing hingga menghasilkan produk susu pada 12 wilayah gabungan, sungguh sebuah kinerja yang mengagumkan.

Secara operasional, mereka memasang instalasi dari 4.000 unit pengolahan melalui sistem pengumpulan susu otomatis (Automatic Milk Collection System Units, AMCUS) di masyarakat pedesaan. Manfaatnya, untuk menangkap berbagai informasi dari anggota. Misalnya mencakup kandungan kadar gemuk susu, pengumpulan volume sampai jumlah yang dapat dibayarkan untuk masing-masing anggota koperasi. Sistem ini sudah lama disetujui dan diterapkan secara disiplin. Apa jaminannya? Semua proses ini dilakukan secara transparan melalui seluruh jaringan organisasi Amul.

Hingga tahun 1996, Amul merupakan salah satu organisasi usaha besar pertama di India yang menerapkan manajemen modern. Termasuk kemampuannya memakai komputerisasi atau situs internet. Bukan hanya kalangan distributor Amul, tetapi para konsumen juga dapat memesan produk susu melalui dunia maya ini.

Langkah inovasi tidak hanya terjadi di tingkat koperasi sekunder. Salah satu anggota dari GCMMF yaitu Koperas Banas misalnya, juga sudah memulai satu inisiatif unik yang disebut proyek The Internet Sewa di wilayah mereka di Banaskantha. Ini adalah satu usaha tingkat desa yang dapat menghubungkan penyediaan layanan digital melalui kios informasi pada tingkat koperasi desa.

Maksudnya, setiap desa mempunyai satu kios informasi. Ini merupakan satu titik dari kontak untuk internet. Termasuk berbagai aktifitas maya pemerintah untuk memajukan koperasi. Formulir resmi, kebutuhan praktis pekerjaan-pekerjaan desa hingga dokter hewan, pertanian dan rincian informasi perkawinan sapi dapat diakses. Di situ juga tersedia informasi harga pasaran susu dan aktivitas pilihan jual-beli sejumlah aspek persusuan. Sehingga masyarakat tidak harus bepergian ke seluruh penjuru wilayah ibukota untuk mendapatkan informasi ini.Tetapi cukup melihat secara aktual di situs http://www.banas.chiraag.com.

Dari situ akan terhubungkan ke beberapa situs. Peralatan nirkabel ini tentu saja menjadikan ongkos transaksi relatif lebih murah. Apalagi sejak tersedianya hanya satu sistem harga yang diperbarui setiap waktu dan mengurangi timbulnya harga yang berulang.

Demi meningkatkan standar hidup anggota peternak dan memfasilitasi akses layanan internet maupun jaringan telepon VOIP, Wilayah Gabungan juga menyediakan jasa layanan internet menggunakan Kios Informasi Desa. Saat ini layanan ini juga sudah mendapat subsidi dari pemerintah. Dengan syarat, tujuannya harus khusus alias untuk memandirikan layanan kios secara berkelanjutan.

Koperasi Pertanian China

Dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia, China diprediksi bakal menjadi negara adidaya ekonomi dunia di masa depan. Koperasi pertanian ternyata memberikan kontribusi besar terhadap pencapaian itu.

Dalam konstelasi ekonomi du­nia dewasa ini, China tampil sebagai kekuatan yang mecengangkan. Negeri Tirai Bambu ini melaju dengan pertumbuhan rata-rata 10 persen, tercepat dibandingkan negara maju manapun. Berbagai produk made in China, bukan cuma menggelontori pasar negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga membanjiri hampir semua nega­ra maju. Dengan surplus perdagang­an internasionalnya, China mampu menghimpun cadangan devisa paling gemuk di dunia.

Perkembangan ekonomi China itu, memang merupakan buah reformasi yang dilakukan secara konsisten. Namun, kunci masuknya tetap saja sektor pertanian. Sebagai negara berpenduduk 1,3 miliar, masalah menda­sar yang harus diamankan dulu oleh China, sudah pasti pemenuhan kebutuhan pangan penduduknya.

Karena itu, sektor pertanian mendapat sentuhan pertama dari proses reformasi ekonomi China. Hasilnya, pada era 70-an sektor ini sudah mampu menciptakan swasembada pangan. Dengan sektor pertanian yang tangguh, China pun mulai mengembangkan industri manufaktur, yang menghasilkan berbagai produk. Namun begitu, perhatian terhadap sektor pertanian, tidak pernah dikendurkan, kendati dengan lahan yang makin menyempit. Dari luas wilayah mencapai 9,6 juta km2, tinggal 1,27 juta km2 yang tersisa untuk pertanian.

Sukses pertanian China, tidak lepas dari kawalan koperasi, yang sudah men­-
jadi bagian dari kehidupan petani sejak lebih dari 80 tahun lalu. Nama koperasi petani China cukup unik, yang dipopu­lerkan dalam bahasa Inggris dengan Supply and Marketing Cooperative (SMC). Sesuai dengan namanya, koperasi berperan penting dalam melakukan pengadaan untuk semua kebutuhan usaha tani seperti bibit, pupuk, peralatan dan lainnya, serta pemasaran komoditi pertanian yang dihasilkan.

Kegiatan pengadaan dan pemasaran tersebut bisa dilakukan secara sangat efisien, karena SMC sudah membentuk jaringan yang sangat luas dan solid. Di level nasional, koperasi petani tersebut mempunyai sekunder bernama All-China Federation of Supply and Marketing Cooperatives (ACFSMC). Secara keseluruhan, ACFSMC menghimpun 22.537 SMC, dengan anggota perorangan men­capai 160 juta petani. Jaringan ini, ter­sebar di 31 provinsi, 336 prefecture dan 2.370 country federation.

Dengan memanfaatkan jaringannya, saat ini ACFSMC menguasai lebih dari 60 persen perdagangan pupuk dan pestisida di China. Untuk memaksimalkan jaringan, koperasi ini kemudian melebarkan sayap bisnisnya hingga merambah ke bidang ritel, mulai dari tingkat grosir sampai eceran. Tercatat ada 1.504 toko grosir dan 89 ribu outlet milik koperasi, yang mendukung bisnis yang berkibar dengan bendera Suguo Supermarket Co. Ltd, ini.

Tidak berhenti sampai di sini, ACFSMC kemudian mengalokasikan surplus dari bisnis pertanian dan ritel, de­ngan melakukan ekspansi lebih luas lagi. Industri manufaktur, tektil, perhotelan, pendidikan sampai restoran, menjadi rambahan bidang bisnis selanjutnya, yang membikin kinerja bisnis makin berotot.

Khusus untuk pemasaran komoditi pertanian, sasarannya tidak lagi sebatas seluruh daratan China, tetapi juga ke sentero dunia. Dengan efisiensi yang diciptakan oleh jaringan koperasi hingga ke tingkat petani, beberapa komoditi pertanian China mengalami surplus, hingga secara ekspansif menyerbu pasar ekspor dan sempat membuat sektor pertanian negara lain termasuk raksasa Amerika Serikat, keteteran menghadapinya.

Selain mengekspor, ACFSMC juga melakukan impor berbagai produk yang dibutuhkan di China. Sebagai gambaran, pada 2005 volume ekspor yang dicetak mencapai 3 miliar dolar AS, sedangkam impor 2 miliar dolar AS.

Pencapaian gemilang yang digapai jaringan koperasi petani China, memang tidak lepas dari peran pemerintah yang sangat kuat. Sebagai negara yang menganut sistem komunis, Peme­rintah China mengandalkan koperasi untuk menjadi wadah untuk memobi­lisasi petani dalam menjalankan usaha taninya.

Namun, peran para pengelola kope­rasi juga tidak bisa diabaikan. Mere­ka mampu memaksimalkan berbagai dukungan pemerintah, untuk memper­kuat basis bisnis koperasi, bukan malah makin tergantung. Dengan begitu, ke­tika ekonomi China membuka diri sebagai tuntutan globalisasi, koperasi be­nar-benar siap untuk mempertahan­kan bisnis, bahkan melakukan ekspansi hingga ke berbagai belahan dunia.

Kendati tumbuh di tanah komunis yang pekat dengan “campur tangan” pemerintah, koperasi petani China tidak lantas kehilangan nilai dasar (jatidiri) sebagai koperasi, terutama dalam menjalankan misi utama untuk me­ningkatkan kesejahteraan petani yang menjadi anggotanya. Sebagai sekun­der nasional, ACFSMC juga ba­nyak melakukan kerja sama bahkan ban­tuan untuk pengembangan kope­rasi pertanian di negara lain. Pada Mei 2008 lalu, misalnya, ACFSMC menyumbang dana sebesar 20 ribu dolar AS untuk pengembangan koperasi pertanian di Myanmar.

Andalan di Masa Revolusi dan Reformasi
Pergolakan dan pertumbuhan ekonomi China, selalu ditandai dengan peran penting petani. Posisi petani selalu tak tergoyahkan, karena mereka bergabung dalam koperasi.

Sudah sekitar 80 tahun koperasi hadir di tanah China, terutama di lingkungan petani. Selama itu pula, koperasi mengawal petani melewati pergolakan revolusi, hingga reformasi di bidang agragria. Petani China memainkan peran sangat pen­ting, dari dua peristiwa yang sangat menentukan dalam sejarah Republik Rakyat China itu.

Revolusi pertama terjadi pada 1923, setelah perang candu. Gerakan petani menjadi andalan untuk melawan pendudukan Jepang. Setelah Jepang terusir, petani mempunyai kekuatan untuk mendesak peme­rintah agar dilakukan landreform atau pembagian tanah pertanian secara adil. Koperasi sudah berperan dalam proses landreform.

Revolusi kedua, meletus pada 1949, menyusul diproklamirkannya negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang kemudian dikenal de­ngan Republik Rakyat China sampai sekarang., sekaligus menandai dianutnya sistem komunisme secara penuh. Lagi-lagi para petani menjadi tulang punggung, untuk menggu­lingkan kekuasaan borjuis.

Sejalan dengan nasionalisasi pe­rusahaan secara besar-besaran, pe­merintah pun berperan aktif dalam melakukan landreform, yang me­ngarah pada pemilikan kolektif lahan pertanian. Para petani dihimpun kembali dalam koperasi, yang diberi nama Hu-chu-tsu (koperasi suka rela). Koperasi beroperasi dalam kelompok kecil 4 sampai 5 keluarga, ker­jasama dibidang pengumpulan te­naga, tanah, binatang, alat-alat milik perorangan. Dalam periode 1950-1952 anggota koperasi meningkat dari 10,7 persen menjadi 40 persen

Pada 1953, bentuk koperasi dirubah menjadi Agricultural Producers Cooperative (APC) atau Nung-Ych Shen-Ch’an Lo-Tso She (Koperasi Produsen Pertanian). Model kerjanya, tanah dimiliki kolektif, pemilik tanah semula masih menerima deviden sebagai tambahan upah berdasarkan butir kerja (work points). Pada 1956 koperasi model seperti ini baru disahkan. Sampai 1953, jumlah anggota mencapai 15 orang atau hanya 1,2 persen dari jumlah keluarga, kemudian meningkat menjadi 633.000 serta mempertahankan anggota 20-30 rumah tangga.

Model koperasi kemudian diubah lagi menjadi Koperasi Produsen yang Lebih Maju (Kao-Chi/Advance APC`S). Koperasi ini disebut juga Koperasi Maju Tipe Sosialis Penuh. Model kerjanya, progam pertanian 12 tahun, kepemilik­an bersama alat produksi, keuntung­an hanya dari penghasilan berdasarkan butir jam, kerja meliputi subsidi air, perternakan, holtikultura, kebudayaan, dan pelayanan kesehatan, membentuk brigade produksi (Sheng-Ch`an-Tu). Jumlah anggota meningkat menjadi 96 persen.

Pro dan kontra yang kemudian muncul adalah apakah anggota koperasi itu kecil atau besar, semisal anggotanya yang 171 rumah tangga diturunkan menjadi 100 rumah tangga saja. Di sisi lain, APC`S memiliki sumber kelemah­an dalam hal akuntansi, manajemen dan tekhnik.

Sepanjang 1953-1956, meski terjadi gagal penen sehingga menciptakan krisis pangan yang berdampak eksodusnya penduduk desa ke kota serta inflasi, tetapi secara umum sektor pertanian menunjukan kemajuan. Produksi pertanian dan pedesaan naik antara 3,1 persen -7,7 persen, atau rata-rata 4,8 persen pertahun.

Kendati namanya diubah-ubah, namun koperasi yang ada di lingkungan petani sebetulnya masih bersifat semu, terutama karena proses pembentuk­an dan sistem kerjanya benar-benar di­arahkan pemerintah. Ketika itu, perekonomian China secara umum masih memprihatinkan.

Keadaan mulai berubah angin reformasi mulai bertiup, seiring dengan ren­­cana besar pemerintah untuk me­lakukan da yue din, lompatan jauh ke depan. Gerakan ini dimulai dengan upaya-upaya untuk mengentaskan rak­yat dari kemiskinan. Karena seba­gian besar rakyat miskin hidup di sektor pertanian, maka sektor ini men­jadi salah satu prioritas pengembangan.

Sekali lagi, koperasi dijadikan andalan untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, pengelolaan koperasi sudah mulai seperti yang berjalan pada koperasi secara universal, kendati peran pemerintah sangat besar. Kendati pada awalnya koperasi hanya menyalurkan berbagai kebutuhan usaha tani yang disediakan pemerintah, namun secara bertahap koperasi mampu memba­ngun fondasi bisnis.

Setelah menghantarkan China pada swasembada pangan pada era 70-an, koperasi mulai melakukan langkah pemasaran produksi pertanian, hingga namanya menjadi Supply and Marketing Cooperative (SMC). Ketika reformasi di China makin me­ngarah pada terciptakan sistem pa­sar terbuka, koperasi sudah benar-benar siap mengembangkan sayap bisnisnya. Terlebih setelah di tingkat nasional membentuk All-China Fede­ration Supply and Market Cooperative, sebagai koperasi sekunder koperasi pertanian

Kerjasama Koperasi Sumut dan Malaysia Dijajaki

Dinas Koperasi dan UKM Sumatera Utara sedang menjajaki kerjasama perdagangan produk pakan ternak dan makanan/minuman serta usaha keuangan antara koperasi daerah itu dengan koperasi di Malaysia "Pejabat Kementerian Koperasi atau Su-ruhanjaya Koperasi Malaysia dan pelaku koperasi di negeri itu mengunjungi Sumut, dan mengaku tertarik untuk bekerja sama dengan koperasi pakan ternak dan beberapa usaha lain. Dinas Koperasi dan UKM Sumut berupaya agar kerjasama tersebut bisa terwujud," kata Kepala Dinas Koperasi dan UKM Sumut lonni Pasaribu di Medan, Minggu.
Ia mengatakan koperasi di Malaysia mengaku yakin bahan baku yang memadai seperti bungkil dan pelepah sawit di Sumut cukup banyak. Sehingga, produksi pakan lemak di daerah itu bisa ditingkatkan untuk dijual bersama-sama di Malaysia maupun negara lain yang membutuhkan. Pengelola koperasi di Malaysia, kata Jonni juga tertarik bekerjasama dengan koperasi pembiayaan dengan mengacu pada banyaknya kebutuhan dana untuk pinjaman kepada pengusaha koperasi dan UKM di Sumut.
"Keinginan kuat koperasi Malaysia untuk bekerja sama harus dimanfaatkan agar koperasi Sumut bisa semakin eksis dan bahkan go internasional," katanya. Kerjasama antara pelaku usaha di Malaysia dan Indonesia perlu dipicu, karena bisa memperkuat kerja sama Asean Economy Community (AEC) pada 2015. Pengusaha Sumut, Said Aldi Al Idrus mengatakan Malaysia dewasa ini semakin melirik pengusaha Indonesia khususnya Sumut untuk diajak bekerjasama dalam segala hal menjelang AEC 2015.
Pengamat ekonomi Sumut, (hon Tafbu Ritonga menyebutkan dalam dialog dengan pejabat nasional dan Malaysia di Penang, Malaysia, Juni lalu, terungkap bahwa Penang dewasa ini sedang berupaya meningkatkan perekonomiannya dan menargetkan bisa menjadi negara jasa seperti halnya Singapura. Di Sumut yang disebut-sebut memiliki 10.745 unit koperasi dan 2,4 juta industri kecil dan menengah, menurut dia seharusnya bisa lebih cepat menangkap peluang bisnis tersebut.