Di AS, negeri embah-nya kapitalisme, koperasi listrik mempunyai
sejarah panjang. Sekarang, sekitar tiga perempat kebutuhan masyarakat AS
terhadap listrik, dipenuhi koperasi.
Jika ingin melihat bukti
soal ketangguhan koperasi dalam bertarung secara head to head dengan
swasta, tengoklah koperasi listrik di Amerika Serikat (AS). Paling
tidak, ada dua hal yang membikin koperasi ini istimewa. Pertama, tumbuh
dan berkembang di negeri yang dikenal sebagai biangnya kapitalisme.
Kedua, bidang usaha yang digarap termasuk padat modal dan padat
teknologi.
Saat ini, koperasi listrik telah menjelma menjadi
kekuatan besar, dengan melayani sekitar 40 juta masyarakat AS, yang
tersebar di 47 negara bagian. Di samping masyarakat, koperasi juga
melayani 17 juta pelanggan perusahaan, industri dan sebagainya.
Layanan
listrik tersebut diberikan oleh koperasi primer, yang berjumlah 930
unit dengan total aset 97 miliar dolar AS. Koperasi-koperasi primer
bekerja dalam sebuah jaringan, antara lain dengan membentuk sekunder
tingkat nasional bernama The National Rural Electric Cooperative
Association (NRECA).
Kendati telah tumbuh sebagai entiti bisnis
dengan skala besar, gerakan koperasi listrik AS tetap berjalan di atas
rel prinsip dasar koperasi, yang digariskan International Cooperative
Alliance (ICA). Misalnya, dengan menegaskan bahwa anggota yang menjadi
konsumen listrik, adalah sekaligus berposisi sebagai pemilik.
Karena
itu, pelayanan kepada konsumen tidak bisa sembarangan, lantaran mereka
adalah “bos” koperasi itu sendiri. Tentu saja, pengelolaan koperasi juga
dilakukan berdasarkan ketentuan, yang diputuskan segenap anggota secara
demokratis. Satu hal yang menarik, sejak awal koperasi menancapkan misi
memenuhi kebutuhan listrik untuk rakyat, termasuk yang berpenghasilan
rendah.
Setelah ditemukan dan dikembangkan Thomas Alva Edison
(1879-1889), baru tiga dekade kemudian listrik menjelma sebagai salah
satu pemantik revolusi. Kapitalisme di Amerika Utara dan sosialisme di
Rusia, bersua di bawah cahaya lampu. Dua ideologi berseberangan itu
sama-sama percaya, bahwa elektrifikasi sanggup memacu industrialisasi.
Untuk
itu, listrik mesti diproduksi dalam jumlah banyak, dan disebar untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri. Bedanya, dalam ideologi
komunis, tugas ini langsung diambil alih oleh negara. Sedangkan ideologi
kapitalis menghendaki agar Negara tidak banyak ikut campur, dan
membiarkan para pemilik modal (swasta) mengambil inisiatif, dengan
dorongan mengejar keuntungan.
Dengan dukungan kekuatan keuangan,
muncullah lima perusahaan listrik skala besar, seperti Electric Band and
Share Company, Install Group, The Northeastern Company, dan Standard
Gas and Electric Company. Lima perusahaan induk ini, bergerak dari hulu
sampai hilir, secara monopolistik.
Maka, industri listrik itu pun
menjelma sebagai kekuatan raksasa ekonomi, yang berada dalam genggaman
kekuatan kapital, seperti J.P. Morgan and Company, First National City
Bank, Bankers Trust dan Guaranty Trust. Tidak cukup sampai di situ.
Dengan segala kekuatannya, kaum kapitalis itu pun mencengkramkan kukunya
di ranah politik, terutama melalui Partai Republik. Sempurnalah wajah
kapitalisme “tingkat awal”, yang senantiasa menyeringaikan keganasannya.
Dengan
mendewakan profit, tentu saja kapitalisme selalu bekerja lewat
perhitungan ekonomi murni. Sementara itu, penduduk Amerika, terutama
kaum petani yang tinggal di daerah pedesaan, sama sekali luput dari
hitungan. Kaum kapitalis lebih suka melayani masyarakat dan industri
yang ada di perkotaan, lantaran lebih efisien sehingga bisa mengeduk
keuntungan berlipat.
Pada 1935, kota-kota di Amerika telah
diterangi cahaya lampu, berkat kegiatan komersial perusahaan-perusahaan
listrik raksasa. Sedangkan ladang-ladang pertanian di pedesaan, cuma 10
persen saja yang mampu menikmati listrik. Itu pun desa yang letaknya di
pinggiran kota.
Perusahaan listrik beralasan, duit yang mesti
dikeluarkan untuk membangun jaringan sampai ke pedesaan, sangat mahal
karena wilayahnya yang luas, dengan rumah penduduk yang saling berjauhan
pula. Jika para petani dan penduduk desa berteriak meminta sambungan
listrik pada perusahaan-perusahaan swasta, mereka dengan enteng
menjawab: “Kalian tidak akan mampu membeli listrik!” Atau, dengan nada
licik: “Baik, akan kami layani, asal kalian mau membayar harganya,
termasuk biaya pemasangan jaringan kawatnya. Tapi, serahkan juga
borongan pembangunannya pada kami.”
Jadi, mustahil bagi penduduk
desa untuk bisa menikmati listrik, jika cuma berharap pada perusahaan
swasta. Akibatnya, industrialisasi hanya terjadi di wilayah perkotaan,
dan ini merupakan daya tarik hebat yang menyedot urbanisasi secara
besar-besaran.
Tentu saja fenomena tersebut kelak bisa
membahayakan, karena membunuh sektor pertanian. Seorang anggota kongres
bernama George W. Norris, lantas melontarkan ide untuk membangun waduk
pembangkit listrik secara besar-besaran, sehingga memungkinkan pembuatan
listrik yang murah bagi penduduk di pedesaan, seperti yang sudah
terbukti berhasil di Kanada (proyek Ontario Hydro Electric).
Ide
itu lantas disambut Roosevelt, Gubernur New York, dengan langkah konkret
berupa pemanfaatan sumberdaya air dari sungai St Lawrence River. Saat
menjabat sebagai Presiden AS, ia melanjutkan proyeknya dengan langkah
spektakuler, yaitu membuat bendungan raksasa Tennesse Valley di bawah
suatu badan otorita dengan payung undang-undang yang dikenal dengan nama
Tennesse Valley Authority.
Langkah Roosevelt tersebut, tak ayal,
mendapat tentangan dahsyat dari kaum kapitalis, yang punya pengaruh di
kongres. Tokoh terkemuka seperti Eisenhower dari Partai Repubik,
ter¬masuk yang lantang melontarkan tentangan itu. Tapi, yang mendukung
Roosevelt juga tak sedikit (terutama dari penduduk desa dan Partai
Demokrat), sehingga ia terus melangkah.
Karena tidak mungkin
menggandeng industri listrik milik kapitalis, maka Roosevelt mendorong
penduduk desa membentuk badan usaha sendiri, untuk mengelola kegiatan
penyediaan dan distribusi listrik. Koperasi pun jadi pilihan. Langkah
besar ini kian mantap, setelah pemerintah berhasil membentuk badan baru
bernama Rural Electrification Administrations, di bawah Departemen
Pertanian. Tentu saja, sebelumnya mesti melewati perdebatan sengit di
kongres.
Di tengah-tengah bergulatan yang selalu diwarnai
pertentangan hebat, koperasi listrik di pedesaan AS, malah tumbuh
sebagai gerakan militan, yang mampu melawan dominasi kapi¬talisme. Clyde
T. Ellis, penulis buku A Giant Step (1966), menggambarkan pergulatan
itu sebagai the epic battle of passage.
Gerakan tersebut, pada
sisi lain, melahirkan sejumlah tokoh yang kemudian memainkan peran
penting di AS bahkan dunia (sebagian menjadi Presiden AS), seperti
Norris, Humphrey, Rayburn, Fullbright, Trumann, Kennedy dan Johnson.
Mereka mempunyai latar belakang sebagai petani dan pemimpin koperasi
pertanian atau ternak di tingkat lokal.
Untuk mengimbangi
kekuatan kaum kapitalis yang mencengkramkan kuku tajamnya hingga ke
bidang politik, gerakan koperasi listrik AS pun melakukan hal serupa.
Sampai sekarang, political action menjadi salah satu program rutin,
melalui The Action Committee for Rural Electrification (ACRE), yang
memiliki lebih dari 30 ribu anggota dari The National Rural Electric
Cooperative Asso¬ciation.
Pengembangan
Setelah menjelma
menjadi keku¬atan besar, baik secara ekonomi maupun politik, gerakan
koperasi listrik AS melakukan pengembangan usaha, di luar pengelolaan
produksi dan distribusi listrik. Namun, semuanya tetap dijalankan dengan
prinsip koperasi, seperti non-profit operation, one member-one vote,
proses pimpinan oleh anggota, control sosial oleh anggota, dan
seterusnya.
Usaha-usaha tersebut, antara lain dalam bidang
pengadaan pupuk, makanan ternak, susu, kredit hingga pengelolaan
supermarket dan penyelenggaraan asuransi. Kegiatan yang bersifat sosial
pun, dilakukan dengan sangat serius dalam skala besar. Misalnya,
membantu masyarakat yang menjadi korban bencana seperti amukan badai
Katrina, yang pernah meluluh-lantakkan Missisippi dan Louisiana.
Tentu
saja, isu global tentang energi alternatif pun, tak luput dari
perhatian. Gerakan koperasi listrik AS, sudah melakukan berbagai langkah
konkret untuk mewujudkan green power, yaitu mengembangkan listrik
dengan energi yang bisa diperbaharui (renewable energy). Saat ini, lebih
dari 550 koperasi listrik yang meng¬gunakan green power.
Kinerja Koperasi Listrik AS
- Memiliki aset sekitar 97 miliar dolar AS.
- Memiliki
dan mengelola 2,4 juta mil, atau 43 persen dari total jaringan listrik
nasional, menjangkau tiga perempat wilayah pemukiman AS.
- Mempekerjakan 67 ribu karyawan di seluruh AS.
- Membayar pajak pada negara, lebih dari 1,2 miliar dolar AS per tahun.
Misi Gerakan Global
Setelah
sukses di dalam negeri, gerakan koperasi listrik AS menjalankan misi
untuk mewujudkan kegiatan elektrifikasi pedesaan sebagai gerakan global.
Antara lain, dengan mendorong tumbuhnya koperasi sejenis di berbagai
negara, termasuk Indonesia.
Gerakan koperasi listrik Amerika
Serikat (AS), yang di level nasional diwadahi National Rural Electric
Cooperative Association (NRECA), memang boleh bertepuk dada, lantaran
keberhasilannya menjalankan misi memenuhi kebutuhan listrik rakyat
pedesaaan, secara spektakuler.
Tapi, tunggu dulu. “Tujuan akhir
program elektrifikasi pedesaan tidak akan berhenti dikejar,” begitu para
pegiat NRECA kerap berujar, “Sehingga orang terakhir di suatu desa
terpencil di suatu negara yang terakhir di dunia yang membutuhkan
listrik, bisa dilayani.” Kalimat ini, masih disambung dengan penegasan:
“Sound idealistic? Maybe. Possible? Absolutely!”
Jelaslah, NRECA
tidak mau berhenti, dengan kesuksesannya di dalam negeri. Mereka
bertekad melawan kapitalisme di industri listrik, di negara lain. Sebab,
syahwat kapitalis akan sama saja, melulu mengejar keuntungan besar. Dan
rakyat kecil, terlebih yang tinggal di daerah terpencil, tidak akan
pernah masuk hitungan.
Tekad besar itu, bukan omong kosong.
Ketika Kennedy dari Partai Demokrat yang juga berasal dari lingkungan
koperasi listrik, terpilih menjadi Presiden AS, ia melancarkan program
“NRECA Model” ke berbagai negara. Hasilnya, pada 1970-an saja sudah ada
150 unit koperasi di 30 negara, yang mendapat bantuan NECRA untuk
menjalankan kegiatan produksi dan distribusi listrik di pedesaan.
Tapi,
sayang, pada perkembangan selanjutnya, hanya di beberapa ne¬gara saja
program tersebut mecetak sukses. Misalnya, di Argentina, Australia,
Bolivia, Chili, Costa Rica dan Philipina. Indonesia? Pada 1976, dengan
sponsor USAID, NRECA sudah masuk ke negeri ini, untuk melakukan
penelitian pendahuluan, tentang kemungkinan listrik masuk desa, melalui
koperasi.
Dari penelitian itu, lantas NECRA bersiap membuat dua
model koperasi listrik di Jawa, tepatnya di Tangerang dan Trenggalek.
Tapi, langkah ini dihadang Perusahaan Listrik Negara (PLN) lantaran
tidak mau monopoli listrik di Jawa yang potensial, terganggu. Dengan
dukungan Direktur Jenderal Koperasi, lantas proyek percontohan pun
dibangun di daerah transmigrasi (ketika itu), yaitu Nusa Tenggara Barat
(NTB), Lampung dan Sumatera Utara.
Setelah sempat berjalan
beberapa puluh tahun, keberadaan koperasi-koperasi listrik itu, tak
terlacak lagi. Data paling terakhir, yaitu per Desember 1999, tercatat
tinggal 5 koperasi listrik yang masih bernapas, masing-masing satu di
Lampung dan Nusa Tenggara Barat, serta tiga di Sumatera Utara.
Namun,
yang aktivitasnya lumayan cuma Koperasi Listrik Sinar Rinjani, Aikmel,
NTB. Koperasi yang melayani sekitar 17 ribu konsumen listrik ini pun,
akhirnya, berakhir secara tragis, lantaran dirusak oleh para pendemo
yang marah, pada 2006 lalu. Sekitar 1000 konsumen, mendemo koperasi,
lantaran merasa banyak dirugikan. Harga listrik yang dijual lebih mahal
dari PLN, yaitu Rp 1.100 per KWH, sementara di PLN Rp900 per KWH. Duh,
susahnya membangun koperasi di negeri ini.